Terorisme dan Pendekatan Kesejahteraan
Oleh: Agus SB
Deputi I BNPT Bidang Pencegahan, Perlindungan,
dan Deradikalisasi
Terorisme
tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kendati kita tak
menghendakinya, namun rangkaian peristiwa terorisme sepanjang enam bulan
terakhir menunjukkan bahwa mereka masih eksis di tengah-tengah kita. Sejak
Januari hingga Juni 2013, sedikitnya ada 13 peristiwa terkait terorisme. Mulai
dari pengungkapan rencana aksi teror di berbagai daerah, penemuan bom pipa aktif
siap ledak, bahan peledak, senjata, hingga serangan terhadap aparat keamanan.
Dampak
Ekonomi
Terlepas dari besar kecilnya
skala teror yang terjadi, terorisme tak dapat ditolerir dengan alasan apapun.
Sebab, dampak yang ditimbulkan tidak hanya korban jiwa nyawa tak berdosa, lebih
dari itu membuat daya saing bangsa, baik di tingkat regional maupun
internasional menurun. Hal ini tentu mengganggu laju perekonomian nasional yang
sedang tumbuh.
Masih
segar dalam ingatan kita betapa Bom Bali I tahun 2002 lalu, misalnya, langsung
melumpuhkan pariwisata Pulau Dewata. Begitu berita bom tersiar, banyak
wisatawan mancanegara dan dalam negeri yang membatalkan kunjungannya. Ini
artinya usaha-usaha yang bersandar pada sektor pariwisata seperti hotel,
restoran, toko kerajinan tangan dan oleh-oleh, dan jasa lainnya, menjadi
terganggu.
Sepinya
wisatawan yang berkunjung ke Bali, juga membuat ribuan rakyat kecil yang
menggantungkan hidupnya dari jasa pariwisata kehilangan mata pencaharian. Para
pegawai hotel, perajin kesenian, karyawan restoran, pemandu wisata, sopir
angkutan, dan banyak lagi pekerjaan yang terkait pariwisata terpaksa harus
istirahat sementara waktu. Akibat terputusnya penghasilan rutin mereka, tak
sedikit keluarga yang jatuh miskin.
Pada saat
yang sama, secara nasional kita juga merasakan banyak investor dari luar negeri
yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab, bagi dunia usaha, keamanan
dan stabilitas politik sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang
sehat. Tak mengherankan jika setelah guncangan Bom Bali I, banyak saham emiten
di lantai bursa yang terkoreksi secara signifikan. Dampak jangka panjangnya
adalah ketidakpercayaan para pelaku usaha di dalam dan luar negeri terhadap
perekonomian nasional.
Solusi
Untuk
meminimalisir dampak ekonomi dari terorisme, tak ada cara lain bagi kita
kecuali menihilkan teror dari bumi pertiwi. Segala upaya telah dikerahkan
pemerintah baik melalui upaya penegakan hukum maupun pencegahan. Kita juga
menyaksikan inisiatif dari sejumlah kalangan masyarakat di daerah untuk
bersama-sama mencegah terorisme dengan memanfaatkan kearifan lokal
masing-masing.
Secara
yuridis, belum lama ini, kita juga telah mengesahkan UU No.9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Sebagai
anggota G20, dengan disahkannya UU tersebut, Indonesia dianggap sebagai negara
yang layak untuk bertransaksi keuangan lintas negara. UU ini penting untuk
mencegah tindak pidana terorisme dari segi pendanaan. Tanpa pendanaan yang
kuat, mustahil terorisme dalam skala yang besar dapat terjadi.
Di samping
itu, Indonesia juga bekerjasama dengan negara-negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dalam Counter Terorisme Task Force (CCTF) dimana Indonesia menjadi ketuanya.
Dalam Second Senior Officials Meeting APEC di Surabaya, awal April lalu, para
delegasi sepakat bekerjasama dalam penanggulangan terorisme. Bagi mereka
terorisme merupakan ancaman nyata perekonomian
negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang penanganannya harus dipikul
bersama-sama.
Di luar upaya-upaya tersebut,
kiranya kita perlu menengok kembali faktor yang menyebabkan aksi terorisme. Di
antara faktor yang mendorong aksi terorisme, lemahnya fondasi ekonomi diyakini
merupakan faktor yang menciptakan pra kondisi seseorang mudah terlibat dalam
jaringan terorisme. Dengan kata lain, kemiskinan menjadi salah satu pintu masuk
menuju terorisme.
Bila kemiskinan merupakan pintu
masuk menuju terorisme, maka salah satu solusi yang harus dipikirkan untuk
mengatasi terorisme adalah menggunakan pendekatan ekonomi atau kesejahteraan.
Logikanya, seseorang yang memiliki kecukupan secara ekonomi akan lebih mandiri
dan independen sehingga tidak mudah terpapar bujuk rayu ideologi
radikal-terorisme. Bagi mereka, hidup akan lebih berarti jika dijalani dengan
indah bersama keluarga tercinta. Kesejahteraan ekonomi memberi mereka
kesempatan untuk berbuat lebih baik bagi sesama, ketimbang melakukan perbuatan
naif terorisme.
Sejatinya, pendekatan
kesejahteraan sebagai upaya deradikalisasi telah dilakukan pemerintah kepada
para mantan napi terorisme dan keluarganya. Melalui program rehabilitasi,
mereka dibekali berbagai keterampilan untuk dapat hidup normal secara ekonomi
seperti warga lain di tengah masyarakat. Namun, lagi-lagi program ini tak dapat
dijalankan pemerintah semata. Perlu dukungan masyarakat baik secara moril
maupun materil untuk mengantarkan para napi terorisme dan keluarganya kembali
ke tengah masyarakat sebagai warga negara yang baik.
Masyarakat dengan kapasitasnya
masing-masing dapat mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi para mantan napi
dan keluarganya. Perusahaan-perusahaan juga perlu ambil bagian dengan
mengarahkan program corporate social responsibility (CSR) untuk
memberdayakan ekonomi mereka. Sebab, bukan hanya pemerintah yang berkepentingan
terhadap keamanan dan stabilitas, dunia usaha juga sangat bergantung pada dua
hal itu.
Pada spektrum yang lebih luas,
program-program pemerintah yang mengutamakan pro poor dan pro job,
langsung maupun tak langsung, sejatinya juga merupakan ikhtiar ke arah sana.
Pemerataan ekonomi dan kesejahteraan akan berdampak pada makin kebalnya
masyarakat dari propaganda ideologi radikal terorisme. Semoga upaya nyata untuk
menggerakkan roda ekonomi rakyat tersebut dapat berkontribusi untuk menciptakan
Indonesia yang damai dan bebas dari ancaman terorisme. Mari bersama cegah
terorisme. Damailah
Indonesiaku.............[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar