Sabtu, 13 Agustus 2011

Raja Gowa-13 dan Kesendiriannya di Negeri Buton









Disebuah pojok dalam kawasan Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tepatnya disekitar ‘Baluarana Siompu’ terdapat sebuah makam tua yang dijaga keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Makam itu bernama, Makam Karaeng Tunipassulu, Raja Gowa ke XIII. Mungkin, bagi masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya etnik Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), tak banyak yang tahu kalau Raja ke XIII itu tempatnya ada di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.

Tidak seperti makam-makam raja Gowa-Tallo di Makassar yang terkesan terbangun megah dan menunjukkan kewibaannya sebagai seorang Raja, Makam Karaeng Tunipassulu di Bau-Bau ini awalnya hanya berhias batu tua sebagai nisan, lalu terhampar begitu saja bersamaan dengan kuburan-kuburan tua lainnya di dalam benteng.

Untung saja, di tahun 2005 oleh Pemerintah Kota Bau-Bau, makam raja yang konon dikeluarkan dari negerinya (sesuai namanya, Tunipassulu = orang yang dikeluarkan) mendapatkan perhatian khusus. Makamnya mulai dipagari dengan bebatuan khas benteng, sebagaimana makam-makam para Raja dan Sultan Buton yang ada di Kota Bau-Bau. Inilah yang kemudian ‘mempopulerkan’ keberadaan Karaeng Tunipassulu di negeri Khalifatul Khamis ini.

Tidak diperoleh informasi yang cukup tentang sepak terjang Karaeng Tunipassulu di Pulau Buton. Yang pasti data raja-raja Gowa menunjukkan jika Karaeng Tunipasulu ini bernama lengkap I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu, yang memerintah di tahun 1590 sampai tahun1593, dan benar memang Raja Gowa yang ke-13.

Menurut Farid W. Makkulau (penulis buku Kekaraengan di Pangkep) mengomentari seputar Raja ini memangatakan jika benar I Tepu Karaeng Daeng Para’bung Tunipasulu dimakamkan di Buton. (Matinroe ri Buton).
Raja ini naik takhta kerajaan Gowa dalam usia 15 tahun, putera dari I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo. Karena dianggap sering bertindak sewenang-wenang, baik kepada rakyatnya maupun terhadap bate salapanga, Raja ini akhirnya diusir dari istana Gowa. Karaeng Tunipasulu’ artinya Raja yang terusir atau dikeluarkan.

“Di masa pemerintahannya yang singkat, hanya tiga tahun (1590-1593),Raja Gowa ke XIII ini memecat beberapa pembesar kerajaan, termasuk Tumailalang I daeng ri Tamacinna, membagi-bagi hamba raja dan menetapkan bate salapanga menjadi ’sipuwe lompo’, melarang rakyat berbakti kepada kedua saudaranya, membunuh orang tanpa salah. Tindakannya ini bukan hanya membuat tidak senang dalam istana Gowa tetapi juga membuat para pendatang dan pedagang resah. Oleh Bate Salapanga, Raja ini diasingkan ke Luwu dan disanalah ia menyadari kesalahannya dan masuk Islam dan kemudian ke tanah Buton. Setelah sekian lama tinggal di Buton, akhirnya Karaeng Tunipasulu pindah ke Buton dan wafat disana dalam tahun 1617.

Meski begitu beberapa informasi yang diperoleh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bau-Bau, jika keberadaan makam tua ini secara turun temurun telah ada sejak lama dan dipercaya sebagai makam Karaeng Tunipassulu, Raja Gowa ke XIII itu. “Tugas kami bagaimana menjaga dan melestarikan keberadaan situs-situs tua dan bersejarah, kami memperlakukannya keberadaan makam Karaeng ini seperti memperlakukan keberadaan situs Gua Aru Pallakka yang juga berada dalam Benteng Keraton,” ujar Ali Arham, seorang PNS Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bau-Bau.

Tak dikenal secara meluas
Tidak seperti raja-raja Gowa lainnya yang dikenal di seantero nusantara, nama Karaeng Tunipassulu tidak popular. Bahkan di sejumlah data internet tentang sejarah raja-Raja Gowa, hanya menuliskan nama karaeng Tunipasulu sebagai Raja Gowa-13, tidak lebih dari itu. Mungkin inilah yang membuat jika nama besarnya di Buton juga semakin meredup.

Lebih parah lagi, orang-orang Bugis-Makassar yang berada di Pulau Buton, nyaris tak mengenal siapa sosok Raja Gowa ini. Biasanya, tradisi nyekar yang banyak terlihat di Sulsel terhadap makam-makam yang dikeramatkan, tidak berlaku bagi sosok Raja Gowa ke-13 ini.

Makamnya seolah dibiarkan ‘sendiri’ dan tak punya kerabat. Tak pernah terlihat ada orang-orang Bugis-Makassar yang menyambanginya. Apalagi menziarahi, seperti layaknya raja-raja lainnya di Sulsel. Apakah ini hukuman bagi Sang Karaeng?? Wallahu alam bissawab. Namun selayaknya, sebagai mantan Raja, telepas dari dosa-dosanya, mungkin kewajiban kita menghargainya, setidaknya ia telah memberi pelajaran berharga bagi kita generasi belakangan ini. Dan, kita semua yakin, jika Karaeng Tunipassulu punya anak keturunan hingga saat ini.


sumber : kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar