Mewaspadai
Generasi Baru Terorisme
Oleh Agus SB
Deputi
I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi
Badan
Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT)
Bagian dari persoalan
terorisme mutakhir yang paling merisaukan adalah keterlibatan sebagian pemuda
dalam jaringan ini, atau bisa disebut dengan istilah generasi muda terorisme.
Persoalan ini teramat sangat penting untuk diwaspadai bersama karena sudah
melibatkan kaum muda yang akan menjadi pemangku masa depan bangsa.
Kelompok Ightiyalat Kalaten
bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari regenerasi terorisme di
kalangan anak muda. Kelompok ini melibatkan beberapa anak muda yang masih
berumur belasan tahun.
Pada awalnya para pemuda
yang aktif dalam kelompok ini dikumpulkan oleh Roki Aprisdianto (pimpinan kelompok)
pada tahun 2010 untuk mengamalkan konsep jihad yang mereka pelajari. Konsep
jihad yang dipelajari adalah tentang perang melawan orang kafir yang diambil
dari buku berjudul Akidah Islam Alqaeda. Dalam buku tersebut dijelaskan orang yang
dianggap kafir adalah thaghut. Mereka
menganggap pemerintah Indonesia adalah thaghut
yang harus diperangi.
Sesuai dengan pernyataan Roki
yang disampaikan kepada teman-temannya, kelompok ini dibentuk untuk dijadikan
tim ightiyalat (aksi membunuh dengan
sembunyi-sembunyi) untuk daerah Klaten, Jawa Tengah. Tujuannya adalah untuk
melaksanakan pembunuhan secara diam-diam terhadap orang yang mereka anggap
kafir.
Selain belajar jihad,
Kelompok Ightiyalat juga diajari cara merangkai elektronik pemicu bom dengan cara
menyambung kabel dengan alat elektronik yang lain. Kelompok Ightiyalat adalah bagian
dari Tim Hisbah Solo pimpinan Sigit Qordawi (Putusan Pengadilan Negeri Klaten,
2011).
Semua yang telah disampaikan
di atas menunjukkan bahwa persoalan
terorisme di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Alih-alih, pelbagai macam
kelompok baru justru bermunculan seperti jaringan Alqaeda Indonesia, HASMI, Tim
Hisbah Solo, dan jaringan fa’i yang melakukan perampokan-peramokan, termasuk
perampokan terhadap Bank CIMB Niaga Medan beberapa waktu lalu.
Kelompok-kelompok ini secara organisasi dan jaringan berbeda dan terpisah,
namun secara ideologi mereka sama-sama menganut paham salafi jihadis yang kerap
mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Operasi antiteror yang dilakukan
oleh aparat keamanan, Densus 88, di Jakarta tidak lama ini (02/04) semakin
menegaskan betapa terorisme masih menjadi ancaman yang sangat serius. Dalam
operasi tersebut aparat berhasil menangkap dua orang terduga teroris dan
mengamankan lima bom pipa yang siap diledakkan.
Dari semua fakta di atas,
setidaknya ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam upaya penanggulangan
terorisme di Indonesia. Pertama,
penanganan terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan penangkapan dan proses
hukum terhadap pelaku teror, namun juga harus ada upaya preventif agar ideologi
teror ini tidak berkembang biak.
Sebagai lembaga negara yang diberi
mandat khusus untuk menaggulangi persoalan terorisme, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah dan sedang melakukan sejumlah program untuk
menyelesaikan persoalan terorisme hingga ke akar-akarnya. Khususnya regenerasi
terorisme di kalangan anak muda. Salah satunya melalui pembentukan Forum Koordinasi
Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah-daerah, termasuk di Sulawesi Selatan.
Hingga saat ini sudah
terdapat 20 FKPT yang terbentuk di 20 provinsi. Pembentukan FKPT dimaksudkan
untuk melokalisir dan memutus jaringan terorisme di daerah-daerah sebelum
berkembang secara lebih luas dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin.
Itu sebabnya pengurus FPKPT terdiri dari beberapa unsur seperti tokoh agama,
tokoh adat, akademisi, tokoh pemuda atau bahkan aparat.
Kedua,
penanganan terorisme harus menyentuh akar persoalan yang substansial, yaitu
memutus ideologi dan pemahaman jihad yang keliru yang dikembangkan oleh
kelompok salafi jihadis, khususnya di kalangan kaum remaja.
Di ranah ideologi, tokoh
agama tentu harus dilibatkan dan berperan aktif melakukan upaya-upaya preventif
yang lebih nyata dengan memberikan pemahaman keagamaan yang damai. Hal ini
mendesak untuk dilakukan mengingat kelompok teror bergerak secara sangat cepat,
baik melalui jaringan pertemanan, kekerabatan, bahkan melalui propaganda media
internet.
Tokoh agama memiliki peran
strategis untuk memberikan pencerahan kepada umat (khususnya kaum remaja) agar mereka
tidak mudah terjebak oleh doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenar dalam
melakukan aksi teror. Hal ini sangat penting untuk dimaksimalkan agar terorisme
tidak terus melakaukan ancaman dan regenerasi.
Dua hal di atas harus dilakukan secara simultan
agar penanggulangan terorisme bisa berjalan secara optimal. Terlebih pada saat
sekarang,seseorang tidak perlu jauh-jauh datang ke markas Alqaeda untuk
mendapatkan pemahaman dan pengetahuan tentang ideologi teror sekaligus merakit
bom, melainkan semua bsa didapatkan dengan mudah melalui internet. Hal ini
menjadi semakin bertambah krusial mengingat dunia internet di Indonesia saat
ini hampir identik dengan kaum remaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar