Senin, 25 November 2013

Mewaspadai Generasi Baru Terorisme



Mewaspadai Generasi Baru Terorisme

Oleh Agus SB
Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi
Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT)

Bagian dari persoalan terorisme mutakhir yang paling merisaukan adalah keterlibatan sebagian pemuda dalam jaringan ini, atau bisa disebut dengan istilah generasi muda terorisme. Persoalan ini teramat sangat penting untuk diwaspadai bersama karena sudah melibatkan kaum muda yang akan menjadi pemangku masa depan bangsa.
Kelompok Ightiyalat Kalaten bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari regenerasi terorisme di kalangan anak muda. Kelompok ini melibatkan beberapa anak muda yang masih berumur belasan tahun.
Pada awalnya para pemuda yang aktif dalam kelompok ini dikumpulkan oleh Roki Aprisdianto (pimpinan kelompok) pada tahun 2010 untuk mengamalkan konsep jihad yang mereka pelajari. Konsep jihad yang dipelajari adalah tentang perang melawan orang kafir yang diambil dari buku  berjudul Akidah Islam Alqaeda. Dalam buku tersebut dijelaskan orang yang dianggap kafir adalah thaghut. Mereka menganggap pemerintah Indonesia adalah thaghut yang harus diperangi.
Sesuai dengan pernyataan Roki yang disampaikan kepada teman-temannya, kelompok ini dibentuk untuk dijadikan tim ightiyalat (aksi membunuh dengan sembunyi-sembunyi) untuk daerah Klaten, Jawa Tengah. Tujuannya adalah untuk melaksanakan pembunuhan secara diam-diam terhadap orang yang mereka anggap kafir.
Selain belajar jihad, Kelompok Ightiyalat juga diajari cara merangkai elektronik pemicu bom dengan cara menyambung kabel dengan alat elektronik yang lain. Kelompok Ightiyalat adalah bagian dari Tim Hisbah Solo pimpinan Sigit Qordawi (Putusan Pengadilan Negeri Klaten, 2011).
Semua yang telah disampaikan di atas  menunjukkan bahwa persoalan terorisme di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Alih-alih, pelbagai macam kelompok baru justru bermunculan seperti jaringan Alqaeda Indonesia, HASMI, Tim Hisbah Solo, dan jaringan fa’i yang melakukan perampokan-peramokan, termasuk perampokan terhadap Bank CIMB Niaga Medan beberapa waktu lalu. Kelompok-kelompok ini secara organisasi dan jaringan berbeda dan terpisah, namun secara ideologi mereka sama-sama menganut paham salafi jihadis yang kerap mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Operasi antiteror yang dilakukan oleh aparat keamanan, Densus 88, di Jakarta tidak lama ini (02/04) semakin menegaskan betapa terorisme masih menjadi ancaman yang sangat serius. Dalam operasi tersebut aparat berhasil menangkap dua orang terduga teroris dan mengamankan lima bom pipa yang siap diledakkan.
Dari semua fakta di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, penanganan terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan penangkapan dan proses hukum terhadap pelaku teror, namun juga harus ada upaya preventif agar ideologi teror ini tidak berkembang biak.
Sebagai lembaga negara yang diberi mandat khusus untuk menaggulangi persoalan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah dan sedang melakukan sejumlah program untuk menyelesaikan persoalan terorisme hingga ke akar-akarnya. Khususnya regenerasi terorisme di kalangan anak muda. Salah satunya melalui pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah-daerah, termasuk di Sulawesi Selatan.
Hingga saat ini sudah terdapat 20 FKPT yang terbentuk di 20 provinsi. Pembentukan FKPT dimaksudkan untuk melokalisir dan memutus jaringan terorisme di daerah-daerah sebelum berkembang secara lebih luas dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin. Itu sebabnya pengurus FPKPT terdiri dari beberapa unsur seperti tokoh agama, tokoh adat, akademisi, tokoh pemuda atau bahkan aparat.
Kedua, penanganan terorisme harus menyentuh akar persoalan yang substansial, yaitu memutus ideologi dan pemahaman jihad yang keliru yang dikembangkan oleh kelompok salafi jihadis, khususnya di kalangan kaum remaja.
Di ranah ideologi, tokoh agama tentu harus dilibatkan dan berperan aktif melakukan upaya-upaya preventif yang lebih nyata dengan memberikan pemahaman keagamaan yang damai. Hal ini mendesak untuk dilakukan mengingat kelompok teror bergerak secara sangat cepat, baik melalui jaringan pertemanan, kekerabatan, bahkan melalui propaganda media internet.
Tokoh agama memiliki peran strategis untuk memberikan pencerahan kepada umat (khususnya kaum remaja) agar mereka tidak mudah terjebak oleh doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenar dalam melakukan aksi teror. Hal ini sangat penting untuk dimaksimalkan agar terorisme tidak terus melakaukan ancaman dan regenerasi.
Dua hal di atas harus dilakukan secara simultan agar penanggulangan terorisme bisa berjalan secara optimal. Terlebih pada saat sekarang,seseorang tidak perlu jauh-jauh datang ke markas Alqaeda untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan tentang ideologi teror sekaligus merakit bom, melainkan semua bsa didapatkan dengan mudah melalui internet. Hal ini menjadi semakin bertambah krusial mengingat dunia internet di Indonesia saat ini hampir identik dengan kaum remaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar