Kesultanan Jambi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan denganKerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah Kerinci, meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini tidak lagi dipedulikan.
Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batang Hari.
Daftar isi
[sembunyikan]Geografi[sunting | sunting sumber]
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatera. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Tembesi, Tabir dan Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.
Kependudukan[sunting | sunting sumber]
Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu berdiam di pinggiran sungai Batang Hari dan Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu, dan kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.
Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah itu. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh,[butuh rujukan] dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[butuh rujukan] Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang.
Tahun 1906 kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.[butuh rujukan]
Senarai (silsilah) Sultan Jambi[sunting | sunting sumber]
Berikut adalah daftar Sultan Jambi.
Tahun | Nama atau gelar |
---|---|
1790 – 1812 | Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga |
1812 – 1833 | Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga |
1833 – 1841 | Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat |
1841 – 1855 | Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud |
1855 – 1858 | Thaha Safiuddin bin Muhammad (pertama kali) |
1858 – 1881 | Ahmad Nazaruddin bin Mahmud |
1881 – 1885 | Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman |
1885 – 1899 | Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad |
1900 – 1904 | Thaha Safiuddin bin Muhammad (kedua kali) |
1904 | Dihancurkan Belanda |
2012 | Abdurrachman Thaha Safiuddin (Dinobatkan pada Tanggal 18 Maret 2012) |
Raden Abdurrahman Dinobat Sebagai Sultan Jambi[sunting | sunting sumber]
Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi kini telah memiliki seorang sultan. Setelah sekian puluh tahun lamanya, pelestarian Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi sejak wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin, saat penyerangan penjajah Belanda yang dipimpin oleh Leutenant G. Badings ke tempat terakhir pelarian Sultan Thaha Syaifuddin di Tanah Garo, dan wafat dalam pertempuran di Desa Betung Bedarah, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo pada 1904. Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi hingga awal tahun 2012 ini, sebagai bagian pelestarian aset sejarah dan budaya Melayu Nusantara, malahan belum berdiri tegak. Namun kejayaan dan kemasyuran Kesultanan Jambi di era Sultan Thaha Syaifuddin tempo dulu bakal terwujud dengan digelarnya prosesi adat agung penobatan penerus Sultan Thaha Syaifuddin kepada Raden Abdurrachman Bin Raden Djak’far Kertopati gelar Pangeran Mudo, sebagai Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi (pelestarian) yang baru, beserta permaisuri Ratu Mas Siti Aisah Bin Raden Haji Usman Yasin gelar Ratu Aisah Kusumo Ningrat. Penobatan yang digelar di Ball Room Hotel Novita pada Minggu, 18 Maret 2012.
Penobatan ini berdasarkan penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Kelas I Jambi Nomor.18/Pdt.P/2008/PA.Jb, tertanggal 19 Mei 2008. yang diketuai oleh Mahmuddin Rasyid MH, serta dua orang hakim anggota lainnya, yaitu Muhammad DJ dan Mahmud Fauzi, ditambah seorang panitera pengganti, Yusran Marpaung.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambi menetapkan bahwa Raden Abdurrachman Bin Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo, adalah keturunan sah dari garis keturunan Raja Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, dari garis lurus keturunan Sultan Thaha Syaifuddin Gelar Pangeran Jayaningrat dengan Permaisuri Ratu Chalijah gelar Ratu Anom Kesumo Ningrat sebagai Ahli Waris dan Penerima Waris tahta pelestarian Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi sekarang.
Posisi Raden Abdurrachman Bin Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo diperkuat lagi berdasarkan dokumen ‘Surat Wasiat’ milik ayah kandung Raden Iskandar HK gelar Pangeran Prabu yaitu Raden Hasan Basri Bin Raden Inu Kertopati Bin Sultan Thaha Syaifuddin pada 1989. Yakni satu tahun, sebelum Raden Hasan Basri wafat pada 1990 lalu,
Surat wasiat tersebut menyatakan bahwa apabila kelak seluruh keluarga besar dan keturunan Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu Sultan Thaha Syaifuddin, yang juga telah ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor.079/TK/1977 ini, serta segenap unsur pemerintah daerah Provinsi Jambi di dalam memutuskan dan menentukan sikap, siapa yang berhak sebagai ahli waris dan penerima waris tahta Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi sebagai Sultan Jambi, untuk meneruskan tongkat estafet kesultanan maupun Sultan Jambi Pelestarian, yaitu Raden Abdurrachman bin Raden Ja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo.
Riwayat sosok Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi pelestarian ini, yakni Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin, dia adalah putra mahkota dari Raden Dja’far Kertopati Bin Raden Inu Kertopati, dan ibunya bernama Ratu Mas Maimunah gelar Ratu Kecik Binti RA. Rahman gelar Pangeran Ratu Martoningrat Bin Sultan Thaha Syaifuddin.
Secara langsung mempunyai anak tunggal selaku pewaris tahta sekaligus putra mahkota Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu Raden Abdurrachman alias Raden Guntur bergelar Pangeran Mudo.
Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin yang lahir di salah satu kamar bagian tengah Rumah Dinas Residen Jambi yang pertama (sekarang Rumah Dinas Gubernur Jambi), Raden Inu Kertopati di Tanah Putih, Kecamatan Pasar, Kota Jambi sekarang, pada Jum’at, 16 Juni 1950.
Menanamatkan pendidikan terakhirnya di SMA Negeri 1 Kota Jambi dan bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dilingkungan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jambi hingga diai pensiun pada 2006.
Dari pernikahan dirinya dengan Ratu Mas Siti Aisyah gelar Ratu Aisyah Kesumo Ningrat, dikaruniai dua orang putra dan seorang putri, masing-masing yaitu Raden Rano Dwi Anggoro gelar Pangeran Ratu sebagai pewaris tahta sekaligus putra mahkota Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi pelestarian, Raden Wawan Pitrah Nugraha dan Ratu Mas Nora Fitria Ulfah.
Gelar kesultanan yang melekat pada dirinya, yaitu Pangeran Mudo dan Ratu Ngurah Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin. Gelar Ratu Ngurah tersebut merupakan gelar kekerabatan yang diperolehnya dari Raja Bali, DR. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III ketika acara peresmian Museum Soekarno pada 11 November 2011 di Tampak Siring, Gianyar, Bali.
Disamping itu, dirinya juga terlibat aktif di beberapa organisasi sultan dan raja se-Nusantara, seperti anggota AKKI (Asosiasi Kerajaan Kesultanan Indonesia), dan anggota Yayasan Raja Sultan Nusantara (YARASUTRA).
Rujukan[sunting | sunting sumber]
- Elsbeth Locher-Schoten. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar